Kenapa Wanita Batak Sering Disebut ‘Polisi Toba’?


Jika kalian telah menikah, terutama dengan wanita Batak, maka jangan coba-coba untuk macam-macam. Sebab, itu akan bahaya kali kawan.

Dia bisa menjadi momok bagi suami yang kurang bertanggungjawab. Bahkan, dia bisa menjadi sosok yang menakutkan bila suaminya dianggap tidak mendukung semangat memperjuangkan anak “manjujung anakhon” agar kelak “ boi hasea pasangap natoras” sebagai harapan tertinggi orang Batak dalam hidupnya.

Karena itu makanya wanita Batak sering digambarkan dengan sebutan ‘Polisi Toba’. Disebut ‘polisi’ karena memang tugasnya sebagai istri memang menjaga konsistensi aturan dan rencana yang telah disepakati bersama dalam sebuah keluarga. Adapun tambahan ‘Toba’ di belakangnya hanya untuk menandakan dia adalah halak hita.

Nah, ‘Polisi Toba’ memang sangat ditakuti manakala sang suami membuat suatu kesalahan. Terlebih kesalahan dan sikap itu akan merusak tatanan dan kehidupan keluarga dan anak-anaknya.

Jika seperti ini, wanita Batak akan muncul ke depan sebagai ‘Polisi Toba’ yang menegakkan hukum dan aturan serta harapan rumah tangganya.

Kenapa bisa seperti itu?

Hal ini karena wanita Batak sebagai “boru ni raja” adalah orang yang mandiri, tegar dan sangat tangguh dalam berjuang. Terlebih untuk keluarga dan anak-anaknya.

Wanita Batak yang telah menikah dan punya anak sering digambarkan sebagai “batu ni sopo/rumah” atau batu penyokong tempat berdirinya tiang rumah. Gambaran ini menguatkan pemahaman bahwa jika sudah berkeluarga, wanita Batak tidak sekedar istri yang melahirkan anak, tetapi dia menjadi tiang rumah tangga.

Dengan kata lain, dia menjadi manajer keuangan keluarga “parsonduk bolon, sitiop puro, sisuhat sidabuan” yang bertanggungjawab mengatur sisi ekonomi keluarga.

Dia juga begitu sentral dalam pengaturan ekonomi dan sebagai “paniaran, soripada, tunggane boru” mitra utama suami dalam banyak hal. Seperti adat, persoalan keluarga dan marga, yang kadangkala seorang istri harus mampu mengambil alih tanggungjawab suami dalam persoalan keluarga besarnya, juga marga suaminya.

Di samping kedua hal penting di atas, sebagai ibu yang melahirkan “pangintubu dan pardijabu” wanita Batak berdiri paling depan memelihara kesehatan, moral, dan pendidikan anaknya untuk lebih maju kelak, “panangkokhon goar dohot sangap ni natoras”.

Peran ini menempatkan wanita Batak dalam keluarganya tidak bisa dipandang sepele.

Kenapa?

Sebab dengan posisi itu wanita Batak siap dan mampu berjuang melebihi kodratnya. Tidak melulu berharap atau terlalu bertumpuh pada suaminya.

Dia mampu bangkit dan bertindak sendiri demi anak-anaknya dan dengan segala daya upaya berjuang mempertahankan keutuhan keluarga sekalipun dalam kondisi yang pahit. Sebab baginya, anak adalah segalanya yang harus diperjuangkan agar bisa mengangkat harkat dan martabat keluarganya.

“Anakhonhi do hamoraon (anakku kekayaan bagiku),” kira-kira begitulah kata mereka.

Nah, karena luar biasanya daya juang dan tanggungjawab wanita Batak, jangan coba-coba kalian untuk menyepelekan “boru ni raja parsonduk bolon na burju i”. Tapi kalau kalian tetap nekat melakukannya, maka siap-siaplah ketika dia berubah menjadi ‘Polisi Toba’ yang keras dan tegas menegakkan aturan keluarga. Awas Poltob!


LANGSUNG SHARE KE MEDSOS...